Medan | Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka periode 2024–2029 menetapkan target ambisius dalam Asta Cita ke-6, yakni pemberantasan kemiskinan ekstrem hingga 0% pada tahun 2026, dan penurunan angka kemiskinan umum menjadi 5% pada tahun 2029, Minggu (11/05/25).
Menanggapi komitmen nasional ini, sejumlah awak media mempertanyakan kesiapan Sumatera Utara dalam memenuhi target tersebut. Salah satu yang dimintai tanggapan adalah Syaiful Syafri, seorang Pekerja Sosial (Peksos) senior di provinsi ini. Ia mengungkapkan keraguannya terhadap pencapaian target nol persen kemiskinan ekstrem di Sumut pada 2026.
“Melihat data terkini dan kondisi lapangan, saya meragukan target itu bisa tercapai di Sumatera Utara. Angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi, ditambah keterbatasan jumlah tenaga pekerja sosial di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,” ujar Syaiful.
Menurutnya, hingga akhir tahun 2024, angka kemiskinan di Sumut masih tercatat 7,03%, dengan kemiskinan ekstrem sebesar 0,54% dan pengangguran terbuka 5,60%. Selain itu, terdapat komunitas adat terpencil (KAT) di 12 kabupaten dengan total 69 lokasi dan 2.984 kepala keluarga yang masih memerlukan perhatian serius.
Ia menjelaskan bahwa penanganan kemiskinan tidak hanya memerlukan anggaran, namun juga membutuhkan aparatur pemerintah yang memiliki latar belakang keilmuan sebagai pekerja sosial. Merujuk pada Perpres Nomor 186 Tahun 2014 dan UU Nomor 13 Tahun 2011, peran Peksos menjadi kunci karena mereka memahami kondisi sosial, budaya, serta kebutuhan komunitas.
“Pekerja sosial siap menjadi pendamping masyarakat, bahkan masuk ke wilayah KAT dengan segala medan berat seperti menyeberangi sungai, berjalan kaki selama berjam-jam di hutan, dan mendaki gunung. Mereka paham kondisi dan bisa membangun pemberdayaan dari dalam,” lanjutnya.
Ia menambahkan, masih banyak kemiskinan yang tampak nyata di perkotaan, seperti di persimpangan jalan Kota Medan, di mana ibu-ibu bersama balita mengemis, atau anak-anak usia sekolah yang bergantian meminta-minta di kedai kopi.
Menurutnya, bantuan sosial dari APBN berupa uang atau beras tidak cukup efektif dalam mengentaskan kemiskinan karena justru menumbuhkan budaya ketergantungan di masyarakat. “Bansos penting dalam situasi darurat, bukan sebagai solusi jangka panjang,” tegas Syaiful.
Namun demikian, Syaiful tetap optimis bahwa target nasional bisa dicapai bila ada sinergi kuat antara Pemerintah Provinsi Sumut dan pemerintah kabupaten/kota, dengan melibatkan pekerja sosial serta menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi yang memiliki program studi Kesejahteraan Sosial di Medan.
“Kolaborasi lintas sektor sangat penting. Dengan pendekatan profesional dan berbasis data, serta melibatkan para Peksos dan kampus, upaya penurunan kemiskinan ekstrem bisa lebih efektif dan berkelanjutan,” pungkasnya.
(Rahmat H)





