Kontras86.com – Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo telah terbitkan Surat Edaran (SE) soal UU ITE, isi surat edaran tersebut terkait penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Senin (22/02/21).
Ada 11 poin dalam surat Edaran (SE) dari Kapolri tersebut, salah satunya mengatur tentang Sikap bagi seorang penyidik polri tidak perlu melakukan penahanan terhadap tersangka yang telah meminta maaf.
Surat Edaran Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif aturan undang-undang ITE telah terbit Langsung di teken secara Resmi oleh Bapak Kapolri Listyo Sigit Prabowo pada tanggal 19 Februari 2021.
Melalui Surat Edaran (SE) itu, Kapolri meminta seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat dalam penerapan UU ITE.
Karena itu, Sigit meminta jajarannya mengedepankan edukasi dan langkah persuasif dalam penanganan perkara UU ITE tersebut.
“Dalam rangka penegakan hukum yang berkeadilan dimaksud, Polri senantiasa mengedepankan edukasi dan langkah persuasif sehingga menghindari adanya dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan serta dapat menjamin ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika, dan produktif,” ujar Kapolri dalam Surat Edaran (SE).
Ada pun 11 poin yang harus menjadi pedoman anggota Polri dalam menangani perkara UU ITE. Penyidik Polri pun diminta memedomani hal-hal sebagai berikut:
Kesatu (1) — a. Mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya.
Kedua(2) — b. Memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat.
Ketiga(3) — c. Mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.
Ke Empat (4) — d. Dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil.
Ke Lima (5) — e. Sejak penerimaan laporan, agar penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.
Ke Enam (6) — f. Melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim/Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada.
Ketujuh (7) — g. Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
Ke Delapan (8) — h. Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme.
Ke Sembilan (9) — i. . Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali.
Ke Sepuluh (10) — j. Penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaanya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan.
Ke Sebelas (11) — k. Agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.
Dari keseluruhan Sebelah (11) Poin undang-undang ITE yang telah di SAH kan secara Resmi diteken langsung KAPOLRI dapat di jalankan kepada Seluruh Jajaran anggota(Polri)kepolisian republik Indonesia sebagai Penerapan kinerja polri menjalankan tugasnya. (*)
Sumber: Teropongreformasi.com