Medan, 25 Mei 2025 – Upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia terus menjadi prioritas nasional. Berbagai kebijakan telah digulirkan oleh Pemerintah Pusat melalui kementerian terkait, dengan dukungan sejumlah gubernur yang memiliki komitmen tinggi di bidang pendidikan.
Salah satu terobosan yang mendapat sorotan adalah model Sekolah Rakyat yang digagas oleh Menteri Sosial RI periode 2024–2029. Program ini memungkinkan anak-anak dari keluarga miskin untuk memperoleh pendidikan secara gratis, lengkap dengan perlengkapan sekolah, kebutuhan hidup, serta sistem asrama. Untuk tahun ajaran 2025/2026, setiap siswa akan menerima pembiayaan sebesar Rp48,25 juta per tahun (sumber: fajar.co.id, 23 Mei 2025).
Tidak hanya itu, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi juga memperkenalkan model Sekolah Garuda Transformasi, yang ditujukan sebagai sekolah unggulan untuk siswa SMA dan Madrasah Aliyah. Program ini dijadwalkan mulai berjalan pada tahun ajaran yang sama (sumber: inilah.com, 19 Mei 2025).
Namun, di tengah semangat inovasi ini, sistem pendidikan di banyak daerah masih bergantung pada kurikulum lama, seperti Kurikulum Merdeka dan Kurikulum 2013 (KBK), serta sistem zonasi berdasarkan domisili siswa.
Menurut Drs. Syaiful Syafri, MM, tokoh pendidikan Sumatera Utara, keberhasilan peningkatan mutu pendidikan sangat ditentukan oleh komitmen dan kebijakan kepala daerah. “Baik gubernur, bupati, maupun wali kota, harus berjalan seiring dengan pemerintah pusat. Kunci keberhasilan ada pada keseriusan mereka dalam mengalokasikan anggaran pendidikan di daerah masing-masing,” tegasnya saat diwawancarai pada Minggu (25/5).
Syaiful menjelaskan bahwa untuk menciptakan pendidikan yang merata dan berkualitas, pemerintah daerah tidak bisa hanya sebatas membuat wacana atau sekadar melakukan kunjungan kerja. Harus ada langkah nyata, seperti penguatan kualitas guru, pemerataan tenaga pendidik, penyediaan sarana prasarana yang layak, dan perhatian terhadap akses jalan menuju sekolah, terutama di daerah pedalaman.
Ia menambahkan, pendidikan tidak semata soal gedung, guru, laboratorium, dan perpustakaan. “Akses jalan adalah bagian penting. Masih banyak siswa yang harus menyeberangi sungai, menempuh jalan setapak, atau melintasi hutan untuk sampai ke sekolah. Ini butuh perhatian dan intervensi langsung dari kepala daerah,” tambahnya.
Beberapa kepala daerah telah menunjukkan komitmen nyata. Gubernur Kalimantan Timur, misalnya, menggratiskan biaya pendidikan jenjang S1 hingga doktoral bagi lulusan SMA/SMK di 53 perguruan tinggi lokal mulai tahun ajaran 2025/2026. Ini menjadi tonggak sejarah baru dalam dunia pendidikan nasional.
Di Jawa Barat, Gubernur setempat menerapkan pendidikan karakter dengan sistem barak militer selama dua minggu bagi anak-anak bermasalah sosial. Tujuannya membentuk disiplin, rasa cinta tanah air, dan tanggung jawab sosial.
Gubernur Maluku Utara juga tak ketinggalan. Pada tahun anggaran 2025, ia mengalokasikan dana APBD untuk merenovasi 118 sekolah dari total 250 SMA, SMK, dan SLB yang dinilai memprihatinkan. Selain itu, anggaran BOS Daerah (Bosda) digelontorkan untuk menghapus ketergantungan pada iuran komite sekolah.
Kolaborasi antar-tingkat pemerintahan juga mulai terlihat. Salah satunya di Kabupaten Bogor, di mana Bupati langsung membangun Jembatan Rawayan setelah viralnya video siswa menyeberangi sungai di Desa Cihideung Udik, Kecamatan Ciampea, demi bersekolah (17/4/2025).
Dengan berbagai inovasi dan langkah nyata yang dilakukan di berbagai daerah, harapan akan pendidikan Indonesia yang lebih merata dan berkualitas perlahan mulai terlihat. Namun, seperti ditegaskan oleh Syaiful Syafri, semuanya kembali pada komitmen dan keberanian kepala daerah untuk bertindak.
(Rahmat Hidayat)