JAKARTA | Maraknya kekerasan terhadap perempuan dan anak menimbulkan adanya fenomena gap gender.” hal ini terlihat dalam kondisi dimana adanya perasaan superioritas dan lebih besarnya kekuatan antara satu gender ke gender yang lain.
Kemudian adanya ham yang menciptakan adanya kesenjangan dan disebabkan pemikiran dan adat serta norma-norma sosial yang masih kental di masyarakat seperti adanya pepatah Jawa bahwa perempuan memang hanya bertugas sebatas“masak, manak, macak”.
Hal ini membuat pergerakan dan potensi perempuan terhalangi. “Keterbatasan kesetaraan perempuan dalam karir dan peran politik masih tergolong minim.
Sehingga Kekerasan yang terjadi kepada perempuan dan anak tidak akan terjadi, ketika perempuan dan anak di rendahkan atau ditaruh posisinya dibawah gender lain. “Padahal, lebih dari itu perempuan mampu berperan, menyuarakan pendapat, memimpin dan bahkan memberikan sebuah perubahan.
“Lanjut, Secara sederhana, perempuan dan anak hanya ingin dilihat sebagai seorang individu dan manusia, tanpa melihat gender mereka apa. Diperlakukan tidak menyimpang, tidak terus menerus menjadi korban pelecehan seksual, korban kekerasan, dan mendapatkan hak yang sama dalam segala aspek kehidupan,” kata A.S Agus Samudra selaku Sekertaris Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia (RPPAI) saat diwawncarai awak media, Jumat (18/11/22).
A.S Agus Samudra menambahkan bahwa banyaknya kekerasan dan Bullying akhir-akhir ini menjadi permasalahan yang seolah-olah bisa merasa aman bagi anak semakin hilang.
Semestinya, pada usia yang masih belia, seorang anak menghabiskan waktunya untuk belajar dan bermain tanpa ada gangguan yang serius. “Oleh karena itu, hal ini harus menjadi perhatian dari sema pihak.
“Pada prinsipnya, tindakan kekerasan dan bullying pada anak tidak dapat diterima, karena secara konstitusional, Pasal 28 UUD Negara Republik Indonesia 1945 menjelaskan bahwa anak adalah subyek dan warga negara yang berhak atas perlindungan dari serangan orang lain, termasuk menjamin peraturan perundang-undangan termasuk undang-undang yang pro terhadap anak.
“Dengan Demikian, Dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, ditentukan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup (rights to live and survive), tumbuh, dan berkembang (rights to develop), serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi,” tegas A.S Agus Samudra. (@Gus)